By:Daddy
Saya kebetulan bernasib sama dengan anda: Memiliki same-sex attraction (SSA) yang tidak dikehendaki. Namun demikian, saya masih bisa berkata, “Saya bukan gay!” Karena saya sama sekali tidak memandang SSA ini sebagai suatu hal yang perlu direngkuh atau dianggap sebagai jati diri. Saya percaya, terlepas dari asalnya apakah dijalin dalam rantai DNA saya, dituangkan dalam hormon2 prenatal semasa saya masih dalam kandungan, diukir dalam struktur otak saya, atau entah apa, saya percaya bahwa ini hanyalah cobaan dari Yang Maha Kuasa. Cobaan yang perlu diterima bukan untuk membenarkan perilaku saya dalam melampiaskannya, tapi sebagai cara-Nya untuk menunjukkan pada diri saya bahwa saya sebenarnya punya kemampuan untuk menanggung dan mengatasinya. Saya percaya, bahwa Tuhan tidak menghukum hamba-Nya karena cobaan yang diberikan-Nya kepada mereka, tapi karena pilihan yang dibuatnya atas cobaan itu. After all, kita punya anugrah yaitu kebebasan memilih. Tuhan memberikan hak kita dengan menyediakan pilihan2. Sekarang tugas kita adalah memilih yang benar. Singkatnya, kita dihakimi berdasarkan pilihan yang kita buat, bukan kondisi kita.

Ini sama sekali bukan penyangkalan diri. Saya menerima bahwa saya memiliki SSA. Namun demikian, ini hanyalah 1 serpihan dari diri saya, tidak layak digunakan untuk memvonis keseluruhan jati diri saya sebagai gay. Lagipula, untuk bisa disebut gay, seseorang haruslah bersikap gay (=ceria) dalam memandang SSA-nya. Kita berdua jelas tidak menganggap SSA sebagai hal yang benar untuk dilampiaskan. Bukankah melanggar larangan Tuhan juga merupakan penyangkalan terhadap jati diri sebagai hamba Tuhan? Sejauh ini saya berusaha untuk mengekang dan mengubahnya. Kadang2 saya gagal sehingga merasa malu pada diri sendiri.

Namun meskipun saya belum mampu mengubahnya, saya masih memiliki sesuatu yang masih bisa saya kendalikan, yaitu kemerdekaan untuk memilih. Meski saya masih tertarik pada sesama jenis, namun saya bisa memilih untuk tidak menyukainya, untuk mengekang dan melawannya, dan menjadikannya sebagai ladang perjuangan saya, untuk membuktikan kepada-Nya bahwa saya layak menjadi hamba dan kekasih-Nya.

Saya percaya bahwa saya bukan munafik, karena munafik berarti tidak mengimani- Nya meski di depan orang lain saya bersikap sebagai orang beriman. Saya hanya ingin agar lebih konsen dalam berjuang, karena lingkungan saya belum tentu memahami perjuangan yang saya pilih, bahkan membebani mereka. Saudara anda tidak diberi cobaan ini karena Tuhan tahu mereka tidak akan mampu mengatasinya sebagaimana anda, maka Ia menyiapkan cobaan lainnya. Rumput tetangga selalu nampak lebih hijau, hati2lah dengan keluhan anda...

Sebagai rekan seperjuangan, saya ucapkan selamat berjuang, anda memiliki motivasi yang perlu dipertahankan. Dari pengalaman saya, orang2 atheis sering berusaha menyeret kita ke dunia gay dengan berkata bahwa menjadi gay itu “modern, tidak kuno, tidak salah, tidak perlu malu, ibadahnya lebih rajin, gak akan bisa tobat berubah jadi hetero, lebih berprestasi dan kreatif, sudah takdir, jangan menyangkal jati diri, tidak jadi masalah selama tidak mengganggu orang lain. ” Mereka tidak paham, bahwa kita tidak hanya mikir people ’s consent, tapi juga god’s consent. Gays are women's best friends? Yeah, right!!!

Saran saya, jangan terlalu pusing apakah kita akan berhasil mengubah SSA kita. Tugas kita yang diberikan-Nya adalah berjuang mengatasinya; Keberhasilan mengubah SSA itu adalah wewenangnya, kita cuma wajib mengusahakannya. Selama kita menunjukkan komitmen kita dalam berjuang, Ia sudah menyiapkan 'upah' buat kita. Ia juga tidak lengah atas amal baik anda yang lainnya.
<< Kembali

Teya Salat